Puisi-Puisi
Kepada
Engkau dan Sepatu Itu
Aku
ingin mengajakmu kembali mencumbui jalan
Tanpa
sandal atau pun sepatu
Membiarkan
sepasang bibir kaki ini mengecup kening jalan
Kemudian
ajari aku melangkah dengan jejakmu
Mengejar
inpian dalam sepatu itu
Meski
tertatih atau pun terjungkal jatuh
Sebab
aku mengagumi engkau dan sepatu itu
Ingata
Dalam
kamar kecil serupa liang kuburan
Hanya
terdengar musik arab mengalun
Menyegarkan
ingatan demi ingatan
Tiba-tiba
dimataku terlintas sepatu Dahlan bersama Iskan
Berjalan
pelan dari selatan
Mengajari
aku melangkah; kesederhanaan
Di
Sebuah Kampus Ungu
Pagi itu, aku
berjalan
Dari pintu ke pintu
lain
Kutemukan seorang
mahasiswi
Sedang asyik
bercakap bersama Dosen
Bicaranya pelan
melebihi bisik do’a kepada Tuhan
Ada seberkas
pengetahuan tak boleh di tanam
Tertinggal di lantai
dingin
Bertebar mengotori
iman
Pintu
Pagi
Kudengar
lagi khutbahmu
Dari
balik pintu pagi itu
Tertangkap
pikiran
Menebar
segar keseluruh badan
Dan
aku segera memperbaiki takbir
Agar
khutbahmu dalam kepala-hatiku tak banjir
Menghanyutkan
airmata dan segala cinta
Subuh
Akan Segera Pulang
Pada
akhir separuh malam
Gerimis
turun melembabkan tubuh pohon
Dedaun
melambai membawa rantingnya berdebar
Aku
pun pindah dari tangkai tahmid ke takbir
Dari
batang tahlil ke hamdalah
Merampungkan
sujud-do’a
Menuntun
jiwa menghadap Tuhan
Karena
subuh akan segera pulang
Menyisakan
basah di persujuda
Ilusi
Lakonmu
Aku tusukkan jarum
kata-kata dengan puisi
Yang lebih runcung
dari matahari
Agar engkau menjerit
merasakan sakit
Melebihi isak
bayi-bayi kecil yang kelaparan
Jadi engkau tak
perlu merasa takut
Atau bahkan terluka
lecat
Sebab, jarum
kata-kata itu
Bagian dari ilusi
lakonmu
Mengenalmu
-kepada
Muhammad
Aku
mengenalmu di sudut rindu
Mengenang
dengan segala cahaya cinta
;menengadah
syafatnya
Dalam
mulya airmata
Jasad
Dendam
Ma,
Bila aku mendengar suara bom meledak di mana-mana
Aku
ingin segera merapikan letak celana
Menyarungkan
kafan pada tubuh-tubuh manusia
Yang
mati tapi masih bernyawa
Tubuh-tubuh
manusia mati itu ialah jasad dendam
Yang
di simpan di dalam kerapuahan iman
Ma,
bila aku mendengar bunyi bom berdebum dimana-mana
Aku
ingin cepat-cepat berlari mencuri seruling Izrofil
Lalu
meniupnya agar aku dan dendam mereka
Sama-sama
tiada
Sebab,
ledakan bom itu Ma…
Asapnya
telah melayangkan sakit hati bangsa
menerbangkan
nafas anak-anak tanpa dosa
Membawa
airmata garuda di rasakan sakit sesama saudara
Atau
mungkin Ma…
memang
kita sudah tak saling mengenal
Siapa
Adam atau Hawa?
Kematian
II
Kudengar lagi lagu
kematian
Ia seperti ingin
menghampiri tubuhmu
Serupa angin
berhembus melepas peluh
Yang lama berakar
menahan ketakutan
Sementara kata-kata
dalam diriku terus berputar
Menata tubuhnya
Begitu nikmat
merambat pada lubang pekat
serupa lahat
Biola
Malam
Kumainkan
biola di tengah malam
Agar
rasa takutku hanyut dalam debar diam
Sunyi
yang pekat begitu lengkap dengan gelap
Memburu
rasaku agar terus melempar kegelisahan
Suaraku
memarau ketika biolaku putus
Saat
do’aku berhenti membius
Sunyi
itu terus menghampiriku bersama gelap
Ia
mengepungku, aku tak bisa lagi berlagu
Suaraku
benar-benar putus
Seucap
do’a tak mampu lagi berhembus
Kemudian
aku kembali pada-Mu
Membawa
biola dan lelagu yang lain
Sambil
menghitung amal recehan
Dalam
Garam Luka
Mungkinkah
masih ada sisa waktu
Memutar
hujan pada tanah yang tak lagi rindang
Dan
pohon-pohon yang kesepian mematahkan senyumnya
Dalam
reranting musim
Sebagai
awan yang tak terjamah angin
Sekaligus
air yang tak di peluk dingin
Kadang
aku bertanya saat menyaksikan bara api
Membakari
kayu
Padahal
di dalamnya masih terjalin hangat persaudaraan
Mungkinkah
masih ada jarak yang mengantarkan kita
Pada
abad kerinduan
Yang
bisa menuntun pikiran-pikiran
Dan
nurani kita jernih melihat halaman masa depan
Mengenal
jalan dan mengembarakan jiwa ke arah kebenaran
Meski
tanah dan pohon-pohon enggan menggugurkan airmatanya
Yang
senantiasa kian basah dalam garam luka
Membakar
Cin
Aku seperti tak ada
di bawah payung langit-Mu
Ketika melihat
banyak saudara menggenggam api
Kemudian saling
membakari kelaminnya sendiri
Hingga
api itu kian membara menghanguskan
segala cint
Mungkin tanah
cokelat ini yang kita pijaki
Telah kekeringan
do’a moyang
Darah-darah kian
simbah dalam kertas dendam
Sejuk
airmata mulai kehilangan
isaknya
Dan
aku hanya bisa menatap
awan
Bersama gugur senyum
para Pahlawan
Bulan
Keadilan
:Mengenang
Peristiwa Palopo
di
Sul-Sel
Sepertinya
hujan masih saja membara, mengirim basah dalam gigil luka. Sebab asap
itu tak henti-henti membayangiku hangatnya menebar ke seluruh tubuh.
Menambah jiwa dan perih pikiranku. Negeri yang konon memiliki
kekayaan alam tak tertimbang di biarkan di telan orang-orang asing.
Hutan-hutan di tinggal pergi penghuninya, menyisakan keasingan di
mata. Sebab kehilangan sejuk dan dinginnya.
Dan
bahkan panggung demokrasi di bakar dendam sendiri.
Sedangkan
aku hanya terus menyimpan api tanya. Sepertinya Kemerdekaan masih
belum sampai di lubuk jantungnya. Bom pertikaian sesama saudara ,
penembakan dan keadilan hukum sama-sama di kibarkan di atas bendera
darah.
Dalam
dendam yang sedemikian menjadi-jadi. Aku lupa menyisakan tawa melihat
kehancuran birokrasi Negeri. Kesemuan semakin marak di cipta di balik
topeng kekosongan, saling merebut kekuasaan tanpa tahu makna
keadilan; bahwa keadilan adalah bulan yang menebar cahaya pada alam
Subaidi
Pratama,
lahir
di Jadung, Dungkek, Sumenep Madura, pada tanggal 11 Juni 1992. Karya
Puisinya pernah dimuat di majalah lokal dan nasional, diantaranya
Majalah Sastra Horison, Jawa Pos, Puisinya Terkumpul dalam antologi
“Festival Bulan Purnama” Trowulan Mojokerto 2010. Menjadi
Mahasiswa UNITRI kota Malang, Jawa Timur Jurusan Ilmu Komunikasi.
Pendiri komunitas PERSI PP. Annuqayah Sumenep Madura.