Jumat, 26 April 2013

PUISI-PUISI

Puisi-Puisi
Kepada Engkau dan Sepatu Itu
Aku ingin mengajakmu kembali mencumbui jalan
Tanpa sandal atau pun sepatu
Membiarkan sepasang bibir kaki ini mengecup kening jalan
Kemudian ajari aku melangkah dengan jejakmu
Mengejar inpian dalam sepatu itu
Meski tertatih atau pun terjungkal jatuh
Sebab aku mengagumi engkau dan sepatu itu
Ingata
Dalam kamar kecil serupa liang kuburan
Hanya terdengar musik arab mengalun
Menyegarkan ingatan demi ingatan
Tiba-tiba dimataku terlintas sepatu Dahlan bersama Iskan
Berjalan pelan dari selatan
Mengajari aku melangkah; kesederhanaan
Di Sebuah Kampus Ungu
Pagi itu, aku berjalan
Dari pintu ke pintu lain
Kutemukan seorang mahasiswi
Sedang asyik bercakap bersama Dosen
Bicaranya pelan melebihi bisik do’a kepada Tuhan
Ada seberkas pengetahuan tak boleh di tanam
Tertinggal di lantai dingin
Bertebar mengotori iman

Pintu Pagi
Kudengar lagi khutbahmu
Dari balik pintu pagi itu
Tertangkap pikiran
Menebar segar keseluruh badan
Dan aku segera memperbaiki takbir
Agar khutbahmu dalam kepala-hatiku tak banjir
Menghanyutkan airmata dan segala cinta
Subuh Akan Segera Pulang
Pada akhir separuh malam
Gerimis turun melembabkan tubuh pohon
Dedaun melambai membawa rantingnya berdebar
Aku pun pindah dari tangkai tahmid ke takbir
Dari batang tahlil ke hamdalah
Merampungkan sujud-do’a
Menuntun jiwa menghadap Tuhan
Karena subuh akan segera pulang
Menyisakan basah di persujuda
Ilusi Lakonmu
Aku tusukkan jarum kata-kata dengan puisi
Yang lebih runcung dari matahari
Agar engkau menjerit merasakan sakit
Melebihi isak bayi-bayi kecil yang kelaparan
Jadi engkau tak perlu merasa takut
Atau bahkan terluka lecat
Sebab, jarum kata-kata itu
Bagian dari ilusi lakonmu
Mengenalmu
-kepada Muhammad
Aku mengenalmu di sudut rindu
Mengenang dengan segala cahaya cinta
;menengadah syafatnya
Dalam mulya airmata
Jasad Dendam
Ma, Bila aku mendengar suara bom meledak di mana-mana
Aku ingin segera merapikan letak celana
Menyarungkan kafan pada tubuh-tubuh manusia
Yang mati tapi masih bernyawa
Tubuh-tubuh manusia mati itu ialah jasad dendam
Yang di simpan di dalam kerapuahan iman
Ma, bila aku mendengar bunyi bom berdebum dimana-mana
Aku ingin cepat-cepat berlari mencuri seruling Izrofil
Lalu meniupnya agar aku dan dendam mereka
Sama-sama tiada
Sebab, ledakan bom itu Ma…
Asapnya telah melayangkan sakit hati bangsa
menerbangkan nafas anak-anak tanpa dosa
Membawa airmata garuda di rasakan sakit sesama saudara

Atau mungkin Ma…
memang kita sudah tak saling mengenal
Siapa Adam atau Hawa?
Kematian II
Kudengar lagi lagu kematian
Ia seperti ingin menghampiri tubuhmu
Serupa angin berhembus melepas peluh
Yang lama berakar menahan ketakutan
Sementara kata-kata dalam diriku terus berputar
Menata tubuhnya
Begitu nikmat merambat pada lubang pekat
serupa lahat
Biola Malam
Kumainkan biola di tengah malam
Agar rasa takutku hanyut dalam debar diam
Sunyi yang pekat begitu lengkap dengan gelap
Memburu rasaku agar terus melempar kegelisahan
Suaraku memarau ketika biolaku putus
Saat do’aku berhenti membius
Sunyi itu terus menghampiriku bersama gelap
Ia mengepungku, aku tak bisa lagi berlagu
Suaraku benar-benar putus
Seucap do’a tak mampu lagi berhembus
Kemudian aku kembali pada-Mu
Membawa biola dan lelagu yang lain
Sambil menghitung amal recehan
Dalam Garam Luka
Mungkinkah masih ada sisa waktu
Memutar hujan pada tanah yang tak lagi rindang
Dan pohon-pohon yang kesepian mematahkan senyumnya
Dalam reranting musim
Sebagai awan yang tak terjamah angin
Sekaligus air yang tak di peluk dingin
Kadang aku bertanya saat menyaksikan bara api
Membakari kayu
Padahal di dalamnya masih terjalin hangat persaudaraan
Mungkinkah masih ada jarak yang mengantarkan kita
Pada abad kerinduan
Yang bisa menuntun pikiran-pikiran
Dan nurani kita jernih melihat halaman masa depan
Mengenal jalan dan mengembarakan jiwa ke arah kebenaran
Meski tanah dan pohon-pohon enggan menggugurkan airmatanya
Yang senantiasa kian basah dalam garam luka
Membakar Cin
Aku seperti tak ada di bawah payung langit-Mu
Ketika melihat banyak saudara menggenggam api
Kemudian saling membakari kelaminnya sendiri
Hingga api itu kian membara menghanguskan segala cint
Mungkin tanah cokelat ini yang kita pijaki
Telah kekeringan do’a moyang
Darah-darah kian simbah dalam kertas dendam
Sejuk airmata mulai kehilangan isaknya
Dan aku hanya bisa menatap awan
Bersama gugur senyum para Pahlawan
Bulan Keadilan
:Mengenang Peristiwa Palopo di Sul-Sel
Sepertinya hujan masih saja membara, mengirim basah dalam gigil luka. Sebab asap itu tak henti-henti membayangiku hangatnya menebar ke seluruh tubuh. Menambah jiwa dan perih pikiranku. Negeri yang konon memiliki kekayaan alam tak tertimbang di biarkan di telan orang-orang asing. Hutan-hutan di tinggal pergi penghuninya, menyisakan keasingan di mata. Sebab kehilangan sejuk dan dinginnya. Dan bahkan panggung demokrasi di bakar dendam sendiri.
Sedangkan aku hanya terus menyimpan api tanya. Sepertinya Kemerdekaan masih belum sampai di lubuk jantungnya. Bom pertikaian sesama saudara , penembakan dan keadilan hukum sama-sama di kibarkan di atas bendera darah.
Dalam dendam yang sedemikian menjadi-jadi. Aku lupa menyisakan tawa melihat kehancuran birokrasi Negeri. Kesemuan semakin marak di cipta di balik topeng kekosongan, saling merebut kekuasaan tanpa tahu makna keadilan; bahwa keadilan adalah bulan yang menebar cahaya pada alam

Subaidi Pratama, 
lahir di Jadung, Dungkek, Sumenep Madura, pada tanggal 11 Juni 1992. Karya Puisinya pernah dimuat di majalah lokal dan nasional, diantaranya Majalah Sastra Horison, Jawa Pos, Puisinya Terkumpul dalam antologi “Festival Bulan Purnama” Trowulan Mojokerto 2010. Menjadi Mahasiswa UNITRI kota Malang, Jawa Timur Jurusan Ilmu Komunikasi. Pendiri komunitas PERSI PP. Annuqayah Sumenep Madura.


Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar